Hasuna.co.id – Ibadah haji merupakan ziarah Islam tahunan ke Makkah, kota suci umat Islam, dan kewajiban wajib bagi umat Islam yang harus dilakukan setidaknya sekali seumur hidup mereka oleh semua muslim dewasa yang secara fisik dan finansial mampu melakukan perjalanan, dan dapat mendukung keluarga mereka selama ketidakhadiran mereka. Ibadah haji juga merupakan ibadah yang paling berat dibandingkan ibadah lainnya. Ibadah ini menuntut banyak persiapan agar jemaah dapat menjalankannya dengan sempurna. Tak hanya soal persiapan rohani dan jasmani, tetapi juga soal finansial (uang) dan waktu.
Menunaikan ibadah haji merupakan impian setiap mukmin karena haji disyariatkan dalam rukun Islam yang kelima. Meski disyariatkan, bukan berarti semua umat Islam boleh dan diwajibkan pergi haji. Ada sejumlah persyaratan yang mewajibkan umat Islam memenuhi panggilan haji, di antaranya sehat secara jasmani. Selain itu, ada rukun dan sunah yang dikerjakan oleh jemaah haji.
Rukun haji merupakan sebagian amalan (perbuatan) yang tidak boleh ditinggalkan oleh seseorang pada saat ia sedang melaksanakan ibadah haji. Apabila ada rukun haji yang tidak dikerjakan, hajinya tidak sah. Rukun haji tersebut ialah niat ihram, wukuf, thawaf, sai, tahalul, dan tertib atau berurutan. Sunah haji adalah jenis amalan ibadah yang dapat menambah pahala bila dikerjakan. Amalan ini sebagai pelengkap pelaksanaan haji. Bila tidak dikerjakan tidak mengapa karena tidak berdosa. Di antara sunah haji ialah mandi wajib sebelum berniat dan mengenakan ihram, menggunakan wangi-wangian sebelum ihram bagi laki-laki, dan melantunkan doa saat memasuki kota Makkah.
Waktu pelaksanaan ibadah haji telah ditentukan dalam syariat, yaitu pada bulan-bulan haji saja (Syawal hingga sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah). Puncak pelaksanaan ibadah haji adalah wuquf di Arafah, mulai 9 Zulhijah hingga matahari terbit di 10 Zulhijah.
Di masyarakat, ada pemahaman yang salah kaprah mengenai keyakinan bahwa dengan berulang kali pergi haji dan umrah, maka dianggap semakin tinggi pula tingkat kesalehan dan ketakwaannya. Dari tinjauan sosiologis, kecenderungan ini memang diakui sebagai salah satu gejala dari struktur sosial masyarakat.
Ibadah haji adalah safar rohani menuju Allah. Sebagai tamu-tamu Allah, jemaah harus menjaga adab-adab batiniyah. Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa ada beberapa etika dalam berhaji, di antaranya adalah berhaji dengan harta yang halal, tidak boros dalam membelanjakan hartanya untuk makan dan minum, meninggalkan segala macam akhlak yang tercela, memperbanyak berjalan, berpakaian sederhana, dan bersabar ketika menerima musibah. Maka dari itu, tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Ka’bah, tetapi memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para sufi. Dalam pandangan kaum sufi, boleh jadi ada yang melihat ka’bah, wukuf, sai, dan sebagainya, namun tidak mencapai makna haji.
Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Makkah. Namun, aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Makkah tetapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilai-nilai religius, artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan. Proses mujahadahnya ke Makkah belum memberikan bekas sedikit pun dalam perilaku kehidupannya.
Di sinilah perlu digarisbawahi bahwa keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya dan bukan pula simbol atau gelar haji atau hajjah yang disandangnya, namun ditentukan oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial. Dengan melakukan ibadah haji mestinya mampu membersihkan dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus. Haji yang demikianlah yang pantas mendapat gelar haji yang mabrur, haji yang berhasil melakukan musyahadah dengan Tuhan dan mampu memberikan kebaikan (birr), menaburkan kedamaian di muka bumi. Maka pantaslah surga sebagai balasannya.
Selanjutnya akan membahas tentang tenaga musiman saat melaksanakan ibadah haji. Temus adalah tenaga musiman untuk mendampingi para calon jemaah haji saat beribadah di Makkah. Temus bukan dari satu negara saja, tetapi dari berbagai negara. Sebelum menjadi temus, ada seleksi yang harus dijalani terlebih dahulu. Di antaranya keilmuan yang dimiliki, wawancara, penguasaan materi, pengenalan tentang tugas-tugas yang akan dijalani di dalam mendampingi calon jamaah haji, dan bahasa.
Tenaga musiman ini banyak dari kalangan mahasiswa. Semakin sedikit mahasiswa yang berada di salah satu negara, maka semakin banyak peluang untuk menjadi tenaga musiman ini. Misal, ada lima ribu mahasiswa yang ingin menjadi temus di Mesir dan di negara lain lebih sedikit daripada Mesir, maka tenaga musiman akan lebih banyak diambil dari negara Mesir dibandingkan dengan negara-negara lain.
Baca Juga:
Apa Saja Keutamaan Sholat Di Masjid Al Aqsha? Berikut Ini Penjelasannya
Begini Cara Menabung Bagi Kamu Yang Ingin Umroh
Di Mesir, tenaga musiman ini diperuntukkan untuk mahasiswa tingkat akhir sebab mahasiswa akhir sudah banyak materi yang dipelajari maka dari itu diambil mahasiswa akhir. Menjadi pembimbing haji itu adalah pekerjaan yang mulia. Selain kita dapat melakukan ibadah kepada Allah di Makkah, kita juga mendampingi calon jemaah haji. Jadi, banyak pahala yang didapatkan selama menjadi tenaga musiman untuk calon jemaah haji.
Biasanya, tenaga musiman haji ini dapat jatah dua bulan dan tenaga musiman ini atau para petugas calon jemaah haji harus datang lebih awal daripada calon jemaah. Jadi, sembari menunggu para calon jemaah, para petugas ataupun tenaga musiman haji dapat melakukan ibadah umrah. Selepas umrah, baju ihram dilepas dan diganti dengan baju petugas dan berbagi tugas. Sebelum berbagi tugas harus ada pembekalan agar semuanya berjalan dengan lancar.
Hal-hal yang harus diperhatikan oleh petugas lapangan ada beberapa hal. Di antaranya banyaknya kejadian orang orang hilang, para calon jamaah yang kesulitan berbahasa Arab, maupun tidak tahu lokasi atau tidak hafal tentang denah saat melakukan ibadah haji (tersesat ataupun terpisah dari rombongan). Di sini petugas lapangan haruslah mengetahui ataupun menguasai lapangan. Dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi di lapangan maka petugas harus lebih mementingkan atau memperhatikan para calon jemaah haji.
Tenaga musiman atau temus ini tidak hanya diperuntukkan bagi orang atau mahasiswa luar negeri saja, tetapi juga dari Indonesia. Ada alasan mengapa kebanyakan tenaga musiman diambil dari Timur Tengah, yaitu di antaranya ialah tentang pemahaman materi, penguasaan lapangan, dan bahasanya. petugas dari Indonesia kebanyakan hanya memahami tentang materinya dan bahasa yang berbeda. Bahasa Arab yang dipelajari di Indonesia adalah bahasa Arab yang baku, sedangkan orang-orang Arab yang berada di Timur Tengah menggunakan bahasa Arab daerahnya masing-masing, seperti kalau di Indonesia berbahasa Melayu, Batak, dan yang lainnya. Itulah sebabnya petugas dari Indonesia sedikit yang diambil dan kebanyakan para petugas diambil dari timur tengah.**
Penulis: Fikri Junanda, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: M. Imam Fatkhurrozi