Hasuna.co.id – Ketika bertanya kepada jemaah haji dan umrah tentang harapan dari pelaksanaan haji dan umrah mereka, sebagian besar jawabannya ialah menghapus segala dosa, menjadi insan yang lebih baik, dan dikabulkan segala doa serta permohonannya oleh Allah SWT. Harapan dikabulkannya doa saat haji atau umrah boleh jadi didasari pada beberapa pertimbangan, yaitu momentum yang tepat saat sedang beribadah, dan di tempat yang mustajab yang memiliki sinyal spiritual yang sangat tinggi seperti Raudhah, Multazam, Hijir Ismail, Maqam Ibrahim, serta bukit Safa dan Marwah. Secara etimologi, “doa” menurut Alquran mengandung beberapa pengertian, di antaranya permintaan, permohonan (Q.S. Al-A’raf [7]: 55); panggilan (Q.S. Al-Isra’ [17]: 110); pujian (Q.S. Al-A’raf [7]: 180); sedangkan secara istilah, menurut Muhammad Sulaiman al-Asqari, dalam Zubdat at-Tafsir min Fath al-Qadir, “doa” berarti permohonan kepada Allah SWT agar mendatangkan sesuatu yang bermanfaat dan menjauhkannya dari segala bentuk kemudaratan. Hal senada diungkapkan Dr. Wahbah Juhaily, dalam tafsir Al-Wajiz, “doa” secara istilah ialah meminta kemanfaatan dan menolak kemudaratan, yang pada hakikatnya merupakan ibadah. Dari bentuknya, doa merupakan pekerjaan hati, lisan, dan raga dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Baca Juga:
Keutamaan dan Keistimewaan Kota Makkah Al Mukarramah
Mengenal 10 Sahabat Nabi yang Utama
Doa sebagai pekerjaan hati maksudnya gerak dan energi berupa interaksi transendental antara makhluk dan Khalik untuk meminta sesuatu yang bermanfaat dan menghindari sesuatu yang mudarat. Doa berupa pekerjaan lisan merupakan wujud ucapan bahasa yang isinya berupa sesuatu yang bermanfaat dan menghindari sesuatu yang mudarat dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Sementara itu, doa dari sisi aktivitas ragawi adalah aktivitas hidup yang berjalan dalam hukum kausalitas sesuai dengan apa yang dilakukan oleh kalbu dan lisan. Keterpaduan ketiga unsur itulah (hati, lisan, dan raga) sebagai hakikat doa yang murni dan konsekuen. Penjelasan tersebut sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 186, yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Maka Aku memohonkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Frasa idza da-‘āni (apabila ia memohon kepada-Ku) merupakan syarat sekaligus isyarat bahwa mengangkat tangan dan berucap saja tidak cukup untuk terkabulnya doa, tetapi harus disertai dengan perbuatan yang nyata.
Dengan demikian, dari definisi-definisi tersebut, terdapat dua makna yang terkandung dalam doa, yaitu pertama, agar yang bermanfaat tetap ada dan abadi melekat pada diri kita serta diusahakan tidak hilang; kedua, agar yang mudarat hilang dan tidak datang lagi. Aktivitas menjaga manfaat dan mengusir mudarat pada dasarnya merupakan ibadah. **
Penulis: Riyan Ferinanda, Mahasiswa Manajemen Dakwah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor: M. Imam Fatkhurrozi